JAKARTA – Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo mengungkapkan fakta sejarah mencatat kunci sukses perjuangan menuju Indonesia merdeka adalah adanya gerakan kebangsaan yang masif dan inklusif. Melibatkan seluruh elemen bangsa, tidak terkecuali etnis Tionghoa yang telah berasimilasi menjadi bagian dari bangsa Indonesia.
Sejarah Sumpah Pemuda tahun 1928 misalnya, memuat kiprah dan kontribusi etnis Tionghoa dalam pergerakan kebangsaan. Rumah pergerakan yang sekaligus menjadi tempat deklarasi Sumpah Pemuda adalah milik seorang Tionghoa bernama Sie Kong Liong. Lima pemuda Tionghoa yang berasal dari dua organisasi kedaerahan, Jong Sumatranen Bond dan Jong Islamieten Bond, juga turut berpartisipasi pada deklarasi Sumpah Pemuda.
“Lagu Kebangsaan Indonesia Raya ciptaan W.R. Supratman juga diterbitkan oleh surat kabar Sin Po, dan direkam di studio milik seorang Tionghoa bernama Yo Kim Tjan. Berbagai peristiwa tersebut menegaskan bahwa sejatinya semangat kebersamaan telah diteladankan oleh para pendahulu kita, dan telah menjadi legasi kesejarahan. Sekaligus menunjukan setiap elemen bangsa mempunyai andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak terkecuali etnis Tionghoa,” ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI ‘Bersatu Kita Kuat, Indonesia Tangguh’ bersama Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), di Jakarta, Rabu (30/11/22).
Turut hadir Ketua Umum PSMTI Wilianto Tanta, Sekretaris Umum PSMTI Raymond A. Arfandy, dan Ketua Panitia Penyelenggara Sosialisasi Empat Pilar MPR RI Henry Husada, serta 250 lebih anggota PSMTI dari berbagai daerah termasuk Papua dan turut hadir sebagai tamu undangan Ketua PSMTI Kota Sukabumi, Tanu Wijaya.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, bagi Indonesia yang memiliki tingkat heterogenitas sangat tinggi, merawat persatuan dan kesatuan bangsa merupakan sebuah keniscayaan. Memiliki jumlah penduduk lebih dari 273 juta jiwa, terdiri dari 1.340 suku dengan 733 bahasa, serta menganut 6 agama serta puluhan aliran kepercayaan adalah fakta sosiologis yang menempatkan bangsa Indonesia pada posisi yang rentan dari ancaman perpecahan.
“Kita dapat belajar dari referensi global, bahwa pada masanya, Uni Soviet dan Yugoslavia adalah representasi negara besar dan maju di kawasan Eropa Timur. Namun kegagalan dalam membangun semangat kebersamaan, dan kelalaian dalam merawat soliditas ikatan kebangsaan, telah menyebabkan kedua negara besar tersebut terpecah-belah dan tercerai-berai,” jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, kebhinekaan dalam negara yang kaya keberagaman seperti Indonesia, hanya bisa terwujud melalui komitmen kuat untuk mengelola kemajemukan dengan baik dan benar. Kegagalan dalam mengelola kemajemukan dan ketidaksiapan masyarakat menerima kemajemukan tersebut, akan berpotensi mengakibatkan gejolak sosial yang dapat mereduksi semangat persatuan dan kesatuan bangsa, menumbuhkan radikalisme, dan menimbulkan konflik horisontal.
“Upaya merawat kemajemukan Indonesia harus dilandasi oleh kesadaran, bahwa keberagaman yang kita miliki adalah fitrah kebangsaan yang harus dijaga bersama. Di sisi lain, kebersamaan sebagai sebuah bangsa juga harus ditopang oleh pondasi yang mengakar kuat agar tidak mudah goyah oleh berbagai potensi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Dalam konteks ke-Indonesiaan, pondasi tersebut mewujud pada sikap tenggang rasa dan semangat gotongroyong,” terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI ini menambahkan, seiring perkembangan zaman dan modernisasi peradaban, upaya merajut kebersamaan dalam keberagaman masih dihadapkan pada berbagai tantangan. Khususnya pada aspek ideologis, di mana masalah-masalah patogenik yang terkait dengan ideologi negara, pada umumnya berangkat dari dua isu utama.
Pertama, kelemahan dalam merawat dan mentransformasikan ideologi kebangsaan, dari mulanya rumusan-rumusan ideal abstrak, menjadi praktik-praktik kolektif kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan. Kedua, ketidakmampuan dalam mencegah infiltrasi narasi dan gerakan kontra ideologi negara, dalam berbagai aspek dan dimensinya.
“Kita harus mengakui, ada semacam kealpaan dalam konteks tersebut. Kealpaan inilah yang membuat kelompok-kelompok konservatif-eksklusif mudah menginterupsi dunia pendidikan, kelembagaan sosial-kemasyarakatan, dan kelembagaan negara, dengan paham, ideologi dan doktrin keagamaan eksklusif yang menebarkan ancaman terhadap negara Pancasila. Karena itu, kita tidak boleh sedikitpun mengendurkan semangat kolektivitas dalam membangun kebersamaan dan merawat persatuan, dengan merangkul segenap komponen bangsa,” pungkas Bamsoet.